PPKn

Pertanyaan

cara membuat puisi dengan judul wayang jawa

1 Jawaban

  • Wayang mungkin memang bukan hal asing bagi Gunawan Maryanto sebagai orang Jawa sekaligus yang berkecimpung di dunia pedalangan. Oleh karenanya karya Gunawan Maryanto di bidang yang lain (puisi) pun terinspirasi atau berbicara soal wayang dengan segala kedalaman filosofi dan pernak-perniknya, dan tentu tekanan puitik dari lirik-liriknya.


    Gunawan Maryanto tengah membacakan 
    puisi-puisi wayang di PKKH UGM

    Cerita wayang menginspirasi banyak orang, termasuk sastrawan. Demikian pun dengan Gunawan Maryanto. Seniman serba bisa ini telah menuliskan setidaknya sembilan tokoh wayang dalam puisi-puisinya, yaitu Banowati, Surtikanti, Mustakaweni, Satyawati, Amba (Dewi Amba), Sumbadra, Adaninggar, Aswatama, dan Balada Ali. Tampaknya secara sengaja Gunawan Maryanto memang menulis puisi berdasarkan inspirasi dari tokoh wayang, khususnya tokoh wanita. Menilik penokohan yang dipuisikannya, tampaknya tokoh-tokoh wanita pewayangan yang penuh tragikalah yang dituliskan Gunawan Maryanto.

    Wayang mungkin memang bukan hal asing bagi Gunawan Maryanto sebagai orang Jawa sekaligus yang berkecimpung di dunia pedalangan. Oleh karenanya karya Gunawan Maryanto di bidang yang lain (puisi) pun terinspirasi atau berbicara soal wayang dengan segala kedalaman filosofi dan pernak-perniknya, dan tentu tekanan puitik dari lirik-liriknya.

    Gunawan Maryanto mengakui bahwa karya kreatif puisinya yang bertemakan wayang hanyalah merupakan salah satu cara untuk memberi kesegaran baru atau mungkin juga tafsir baru pada cerita wayang itu sendiri melalui tokoh yang ditampilkannya. Tokoh-tokoh yang muncul dalam puisinya pun bukanlah tokoh-tokoh yang paling utama dalam pewayangan.

    Ia juga menyatakan tidak bermaksud mempuisi-puisikan tokoh wayang. Akan tetapi ketika ia mulai menuliskan puisi secara tanpa sengaja gagasan dan tulisannya mengalir begitu saja dan jadinya bermuara pada tokoh wayang yang bersangkutan. Selain itu, apa yang diungkap dalam puisinya pun bukanlah hal-hal yang lumrah ada dan muncul di dalam dunia pewayangan. Sembilan tokoh wayang dalam puisinya menurutnya merupakan tokoh yang paling verbal dan paling luwes dan enak untuk ditampilkan.

    Hal ihwal puisi Gunawan Maryanto yang berkaitan dengan tokoh wayang khususnya tokoh wanita inilah dibincangkan di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri Universitas Gadjah Mada pada Selasa malam, 25 November 2014. Ada dua pembahas yang dihadirkan dalam acara itu yakni Badrul Munir Choir (sastrawan) dengan makalah berjudul Tragika Percintaan, Kontramitos, dan Kesadaran Penyair sebagai Dalang: Membaca Puisi-puisi Wayang Gunawan Maryanto dan Sari Fitria (S2 Ilmu Sastra FIB UGM) dengan makalah berjudul Wan(ita) dalam Puisi-puisi Wayang Gunawan Maryanto. Bertindak sebagai moderator dalam acara ini adalah Farhana Aulia. Tulisan lain sebagai bahan pemantik diskusi disampaikan oleh Prof. Dr. Faruk HT. dengan judulSurtikanti Gunawan Maryanto: Pancingan Diskusi Sastra PKKH.


    Dari kiri ke kanan: Gunawan Maryanto, Farhana Aulia, 
    Badrul Munir Choir, dan Sari Fitria

    Dalam tulisannya Faruk menyatakan bahwa banyak ketumpangtindihan dalam puisi Gunawan Maryanto yang itu memang menjadi hal yang disengaja. Tumpang tindih antara yang makro dan mikro, yang internal dan eksternal, alam dengan tubuh. Ketumpangtindihan ini membuat citraan yang tergambar di dalamnya menjadi tampak surealistik. Yang membuatnya semakin surealistik adalah ketumpangtindihan waktu, antara masa kini dengan masa lalu, dunia wayang dengan dunia nyata, tradisi dengan modern: giwang, liontin, dengan jam tangan.

    Selain itu, di akhir tulisannya Faruk menyampaikan bahwa puisi Gunawan Maryanto memilih keli daripada ngeli. Dan dalam keli, perbedaan-perbedaan tak lagi ada. Surtikanti sama saja dengan Banowati. Dua-duanya adalah figur yang mendua, yang cair, yang terus berubah. Mungkin begitu.


Pertanyaan Lainnya